Kontroversi Keabsahan Screenshot sebagai Bukti Digital dalam Hukum
Secara teori, screenshot dianggap memiliki kelemahan mendasar sebagai bukti digital. Screenshot hanyalah representasi visual dari suatu tampilan layar yang diambil pada waktu tertentu.
10/9/20242 min read
Dalam era digital yang terus berkembang, bukti elektronik menjadi salah satu elemen penting dalam proses peradilan. Salah satu bentuk bukti digital yang sering diajukan adalah screenshot. Meskipun penggunaannya luas dan sering dijadikan referensi di berbagai kasus, keabsahan screenshot sebagai bukti hukum masih menjadi perdebatan yang panjang. Berbagai pandangan muncul terkait apakah screenshot dapat diakui sebagai bukti yang sah, mengingat keterbatasan teknisnya dalam membuktikan keaslian data yang ditampilkan.
Secara teori, screenshot dianggap memiliki kelemahan mendasar sebagai bukti digital. Screenshot hanyalah representasi visual dari suatu tampilan layar yang diambil pada waktu tertentu. Namun, screenshot tidak memiliki catatan digital yang menyertakan informasi penting, seperti kapan gambar tersebut diambil, siapa yang mengambilnya, dan apakah gambar tersebut telah diubah atau dimanipulasi. Dengan kata lain, screenshot tidak memiliki metadata yang dapat memastikan integritas dan keaslian gambar tersebut. Hal ini membuat screenshot rentan terhadap manipulasi, yang dapat digunakan untuk menyesatkan atau merusak kebenaran dalam suatu kasus hukum.
Meskipun kelemahan ini telah diakui secara teori, screenshot masih sering digunakan dalam proses persidangan di berbagai yurisdiksi. Banyak pihak, baik dalam konteks perdata maupun pidana, mengajukan screenshot sebagai bukti yang dianggap sah. Hal ini sering kali terjadi karena screenshot dianggap sebagai bentuk bukti yang mudah diakses dan digunakan oleh orang awam maupun pengacara dalam menyampaikan argumen. Dalam beberapa kasus, screenshot dapat dianggap sebagai bukti pendukung yang membantu mengilustrasikan suatu peristiwa atau percakapan, meskipun nilai pembuktiannya sangat terbatas.
Namun, penggunaan screenshot dalam persidangan seharusnya ditelaah lebih kritis. Salah satu alasan utama mengapa screenshot harus dipertanyakan keabsahannya adalah potensi manipulasi. Berbagai perangkat lunak pengedit gambar memungkinkan seseorang untuk dengan mudah mengubah konten screenshot tanpa meninggalkan jejak digital. Tindakan semacam ini dapat menciptakan bukti palsu yang tampak meyakinkan, tetapi tidak berdasarkan fakta. Manipulasi ini berpotensi merusak proses hukum yang seharusnya berjalan secara adil dan berdasarkan bukti yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, screenshot tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa atau data yang ditampilkan. Misalnya, screenshot dari percakapan teks tidak dapat menunjukkan dengan pasti kapan percakapan tersebut terjadi atau apakah teks yang ditampilkan merupakan hasil edit. Tanpa adanya verifikasi melalui metadata atau catatan digital yang lebih rinci, keabsahan screenshot sebagai bukti menjadi sangat meragukan. Dalam konteks forensik digital, pendekatan yang lebih ilmiah dan terukur diperlukan untuk memastikan bahwa bukti yang diajukan benar-benar akurat dan tidak dimanipulasi.
Perdebatan mengenai penggunaan screenshot dalam hukum memperlihatkan kebutuhan mendesak akan standar yang lebih ketat dalam penerimaan bukti digital. Pendekatan ilmiah dan forensik harus diterapkan dalam setiap penanganan bukti digital, termasuk screenshot. Dalam banyak kasus, screenshot yang diajukan ke pengadilan seharusnya dilengkapi dengan verifikasi tambahan, seperti bukti dari sistem komputer asli atau catatan server yang dapat memastikan bahwa data yang ditampilkan adalah otentik. Tanpa langkah-langkah verifikasi ini, screenshot seharusnya dipertanyakan dan mungkin tidak layak untuk diterima sebagai bukti yang sah.
Kesimpulannya, screenshot memiliki nilai yang sangat terbatas dalam konteks hukum dan seharusnya tidak dianggap sebagai bukti digital yang dapat berdiri sendiri. Potensi manipulasi dan kurangnya metadata membuatnya jauh dari standar bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk itu, pengadilan dan praktisi hukum perlu lebih berhati-hati dalam menerima screenshot sebagai bukti, dan sebaiknya mendorong penggunaan bukti digital yang lebih valid dan dapat diverifikasi dengan metode forensik yang tepat.
Kegiatan
Temukan informasi terbaru tentang kegiatan kami, publikasi ilmiah, program pelatihan.
RESOURCE
© 2024. All rights reserved.